Minggu, 09 Oktober 2011

Natal bagi Seorang Muslim

25 Desember 2009
Sejumlah pusat perbelanjaan tampak semarak. Dekorasi dan pohon cemara beragam ukuran dihias lampu warna-warni dipasang di berbagai sudut ruangan. Hari ini tepat tanggal 25 Desember, umat Kristiani seluruh dunia merayakan hari Natal. Sebagian umat Muslim tak lepas dari suasana ini. Bahkan tak jarang, ada juga yang memberikan ucapan selamat hari raya. Hal itu adalah konsekuensi dari umat agama yang hidup berdampingan, baik sebagai rekan kerja, teman, tetangga dan anggota masyarakat di lingkungan kediaman masing-masing.
Suatu ketika seorang teman pernah bertanya kepadaku. Tahun lalu, organisasinya merayakan hari besar agama secara bersamaan. Yaitu, halal bi halal pada sore hari hari, yang dihadiri seluruh anggota termasuk non-muslim. Lalu, pada malam harinya dilanjutkan dengan ibadah Kristen dalam rangka menyambut Natal (perayaan malam kudus) yang juga dihadiri seluruh anggota termasuk dirinya. Ia beralasan hal tersebut dilakukan semata-mata sebagai bentuk toleransi mereka kepada agama lain. Bolehkah yang demikian itu? Bukankah itu sebuah hal yang manusiawi?
Islam mengajarkan umatnya untuk bersikap toleran terhadap agama lain. Bahkan tak agama yang memiliki toleransi sebesar yang diajarkan Islam. Banyak sekali nash yang menegaskan hal itu, diantaranya :
”Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Q.S. Al An’am : 108)
Namun, bukan berarti toleransi membolehkan kita untuk ibadah agama lain. Pertama, itu merupakan tindakan kekufuran dan menyekutukan Allah, serta mengikuti penyembahan pada selain Allah. Mengikuti malam kudus adalah salah satu contohnya.
Kedua, dahulu kala hal ini juga pernah terjadi di masa Rasulullah saw. Beliau ditawari orang musyrik Quraisy untuk mengikuti ibadah mereka selama setahun. Lalu pada tahun berikutnya giliran mereka yang mengikuti ibadah Rasulullah saw, beliau tegas menolak. Bahkan, selanjutnya turunlah ayat surat al kaafirun :
”Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (  Q.S. Al Kaafirun : 1-6)
Ketiga, dengan mengikuti ibadah mereka, maka secara tidak langsung Anda juga telah menyerupai mereka. Padahal jelas disebutkan dalam sebuah hadist : ”Barangsiapa yang mengikuti perilaku sebuah kaum, maka mereka termasuk dari kaum tersebut”. (H.R. Muslim)
Islam juga mengajarkan kepada umatnya untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang syubhat dan dari larangan Allah SWT. Sebaliknya umat dianjurkan agar mendahulukan menolak kerusakan daripada menarik kemaslahatan.
Dengan begitu, apa yang Anda lakukan jelas perbuatan yang keliru dan sesat. Apabila hal ini dilakukan secara terus-menerus sudah pasti akan membuat orang kufur dan gugur semua amalannya kecuali apabila ia telah bertaubat. Oleh itu jika Anda pernah melakukannya, maka segeralah beristighfar kepada Allah dan mintalah ampun kepada-Nya. Berjanjilah tak akan mengulanginya lagi. Hal ini juga berlaku ketika Anda mengucapkan selamat bagi perayaan mereka (baik Natal, Nyepi, atau perayaaan agama lainnya).
Lalu, timbul pertanyaan; bagaimana sikap dan bentuk toleransi kita kepada mereka? Terutama saat mereka merayakan ’hari raya’?. Cukuplah kita berdiam diri dan menghormati mereka dengan tidak mengganggu dan mengacau acara mereka. Itulah sikap yang tepat bagi kita semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar