Natal bagi Seorang Muslim
25 Desember 2009
Sejumlah pusat perbelanjaan tampak
semarak. Dekorasi dan pohon cemara beragam ukuran dihias lampu
warna-warni dipasang di berbagai sudut ruangan. Hari ini tepat tanggal
25 Desember, umat Kristiani seluruh dunia merayakan hari Natal. Sebagian
umat Muslim tak lepas dari suasana ini. Bahkan tak jarang, ada juga
yang memberikan ucapan selamat hari raya. Hal itu adalah konsekuensi
dari umat agama yang hidup berdampingan, baik sebagai rekan kerja,
teman, tetangga dan anggota masyarakat di lingkungan kediaman
masing-masing.
Suatu ketika seorang teman pernah
bertanya kepadaku. Tahun lalu, organisasinya merayakan hari besar agama
secara bersamaan. Yaitu, halal bi halal pada sore hari hari,
yang dihadiri seluruh anggota termasuk non-muslim. Lalu, pada malam
harinya dilanjutkan dengan ibadah Kristen dalam rangka menyambut Natal
(perayaan malam kudus) yang juga dihadiri seluruh anggota termasuk
dirinya. Ia beralasan hal tersebut dilakukan semata-mata sebagai bentuk
toleransi mereka kepada agama lain. Bolehkah yang demikian itu? Bukankah
itu sebuah hal yang manusiawi?

Islam mengajarkan umatnya untuk bersikap
toleran terhadap agama lain. Bahkan tak agama yang memiliki toleransi
sebesar yang diajarkan Islam. Banyak sekali nash yang menegaskan hal
itu, diantaranya :
”Dan janganlah kamu memaki
sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti
akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah
Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian
kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada
mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Q.S. Al An’am : 108)
Namun, bukan berarti toleransi
membolehkan kita untuk ibadah agama lain. Pertama, itu merupakan
tindakan kekufuran dan menyekutukan Allah, serta mengikuti penyembahan
pada selain Allah. Mengikuti malam kudus adalah salah satu contohnya.
Kedua, dahulu kala hal ini juga pernah
terjadi di masa Rasulullah saw. Beliau ditawari orang musyrik Quraisy
untuk mengikuti ibadah mereka selama setahun. Lalu pada tahun berikutnya
giliran mereka yang mengikuti ibadah Rasulullah saw, beliau tegas
menolak. Bahkan, selanjutnya turunlah ayat surat al kaafirun :
”Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, Aku
tidak akan menyembah apa yang kamu sembah Dan kamu bukan penyembah Tuhan
yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu
sembah dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku
sembah.Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” ( Q.S. Al Kaafirun :
1-6)
Ketiga, dengan mengikuti ibadah mereka,
maka secara tidak langsung Anda juga telah menyerupai mereka. Padahal
jelas disebutkan dalam sebuah hadist : ”Barangsiapa yang mengikuti
perilaku sebuah kaum, maka mereka termasuk dari kaum tersebut”. (H.R.
Muslim)
Islam juga mengajarkan kepada umatnya
untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang syubhat dan dari larangan Allah
SWT. Sebaliknya umat dianjurkan agar mendahulukan menolak kerusakan
daripada menarik kemaslahatan.
Dengan begitu, apa yang Anda lakukan
jelas perbuatan yang keliru dan sesat. Apabila hal ini dilakukan secara
terus-menerus sudah pasti akan membuat orang kufur dan gugur semua
amalannya kecuali apabila ia telah bertaubat. Oleh itu jika Anda pernah
melakukannya, maka segeralah beristighfar kepada Allah dan mintalah
ampun kepada-Nya. Berjanjilah tak akan mengulanginya lagi. Hal ini juga
berlaku ketika Anda mengucapkan selamat bagi perayaan mereka (baik
Natal, Nyepi, atau perayaaan agama lainnya).
Lalu, timbul pertanyaan; bagaimana sikap
dan bentuk toleransi kita kepada mereka? Terutama saat mereka merayakan
’hari raya’?. Cukuplah kita berdiam diri dan menghormati mereka dengan
tidak mengganggu dan mengacau acara mereka. Itulah sikap yang tepat bagi
kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar